Rabu, 24 September 2014

nasyiatul aisyiyah


A.Sejarah berdirinya nasyi’atul aisyiyah(NA)
Berdirinya Nasyi'atul Aisyiyah (NA) juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan rentang sejarah Muhammadiyah sendiri yang sangat memerhatikan keberlangsungan kader penerus perjuangan. Muhammadiyah dalam membangun umat memerlukan kader-kader yang tangguh yang akan meneruskan estafet perjuangan dari para pendahulu di lingkungan Muhammadiyah.
Berdirinya Nasyi'atul Aisyiyah (NA) juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan rentang sejarah Muhammadiyah sendiri yang sangat memerhatikan keberlangsungan kader penerus perjuangan. Muhammadiyah dalam membangun umat memerlukan kader-kader yang tangguh yang akan meneruskan estafet perjuangan dari para pendahulu di lingkungan Muhammadiyah.
Gagasan mendirikan NA sebenarnya bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart School Muhammadiyah. Dalam usahanya untuk memajukan Muhammadiyah, ia menekankan bahwa perjuangan Muhammadiyah akan sangat terdorong dengan adanya peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada para muridnya, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Gagasan Somodirdjo ini digulirkan dalam bentuk menambah pelajaran praktik kepada para muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid, seorang kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada tahun 1919 Somodirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri siswa Standart School Muhammadiyah. Perkumpulan tersebut diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Seminggu sekali anggota SP Pusat memberi tuntunan ke ranting-ranting. Setelah lima bulan berjalan, diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam SP. Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad (sekarang Musholla Aisyiyah Kauman). Kegiatan SP Wanita adalah pengajian, berpidato, jama'ah subuh, membunyikan kentongan untuk membangunkan umat Islam Kauman agar menjalankan kewajibannya yaitu salat subuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian.
Perkembangan SP cukup pesat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya mulai segmented dan terklasifikasi dengan baik. Kegiatan Thalabus Sa'adah diselenggarakan untuk anak-anak di atas umur 15 tahun. Aktivitas Tajmilul Akhlak diadakan untuk anak-anak berumur 10-15 tahun. Dirasatul Bannat diselenggarakan dalam bentuk pengajian sesudah magrib bagi anak-anak kecil. Jam'iatul Athfal dilaksanakan seminggu dua kali untuk anak-anak yang berumur 7-10 tahun. Sementara itu juga diselenggarakan tamasya ke luar kota setiap satu bulan sekali.
Kegiatan SP Wanita merupakan terobosan yang inovatif dalam melakukan emansipasi wanita di tengah kultur masyarakat feodal saat itu. Kultur patriarki saat itu benar-benar mendomestifikasi wanita dalam kegiatan-kegiatan rumah tangga. Para orang tua seringkali melarang anak perempuannya keluar rumah untuk aktivitas-aktivitas yang emansipatif. Namun dengan munculnya SP Wanita, kultur patriarki dan feodal tersebut bisa didobrak. Hadirnya SP Wanita sangat dirasakan manfaatnya, karena SP Wanita membekali wanita dan putri-putri Muhammadiyah dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Pada tahun 1923, SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan Aisyiyah. Perkembangan selanjutnya, yaitu pada tahun 1924, SP Wanita telah mampu mendirikan Bustanul Athfal, yakni suatu gerakan untuk membina anak laki-laki dan perempuan yang berumur 4-5 tahun. Pelajaran pokok yang diberikan adalah dasar-dasar keislaman pada anak-anak. SP Wanita juga menerbitkan buku nyanyian berbahasa Jawa dengan nama Pujian Siswa Praja. Pada tahun 1926, kegiatan SP Wanita sudah menjangkau cabang-cabang di luar Yogyakarta.

Pada tahun 1929, Konggres Muhammadiyah yang ke-18 memutuskan bahwa semua cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan Aisyiyah Urusan Siswa Praja. Pada tahun 1931 dalam Konggres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta diputuskan semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia, karena cabang-cabang Muham-madiyah di luar Jawa sudah banyak yang didirikan (saat itu Muhammadiyah telah mempunyai cabang kurang lebih 400 buah). Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita diganti menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Tahun 1935 NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif menurut ukuran saat itu. Mereka mengadakan salat Jumat bersama-sama, mengadakan tabligh ke berbagai daerah, dan kursus administrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktivitas yang tidak wajar dilaksanakan oleh wanita pada saat itu.
Pada Konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1938 di Yogyakarta diputuskan bahwa Simbol Padi menjadi simbol NA, yang sekaligus juga menetapkan nyanyian Simbol Padi sebagai Mars NA. Perkembangan NA semakin pesat pada tahun 1939 dengan diselenggarakannya Taman Aisyiyah yang mengakomodasikan potensi, minat, dan bakat putri-putri NA untuk dikembangkan. Selain itu, Taman Aisyiyah juga menghimpun lagu-lagu yang dikarang oleh komponis-komponis Muhammadiyah dan dibukukan dengan diberi nama Kumandang Nasyi'ah.



Adapun Nasyiatul Aisyiyah ini mempunyai ANGGARAN DASAR dan ANGGARAN RUMAH TANGGA sebagai berikut:
BAB I
NAMA, IDENTITAS DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Bagian Pertama
Nama
Pasal 1
Organisasi ini bernama Nasyiatul Aisyiyah disingkat NA

Bagian Kedua
Identitas
Pasal 2
Nasyiatul Aisyiyah adalah organisasi otonom dan kader Muhammadiyah, merupakan gerakan putri Islam, yang bergerak di bidang keperempuanan, kemasyarakatan, dan keagamaan.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Nasyiatul Aisyiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 28 Dzulhijjah 1349 H. bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1931 M., berkedudukan di tempat kedudukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN USAHA
Bagian Pertama
Asas
Pasal 4
Organisasi ini berasaskan Islam

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 5
Tujuan Organisasi ini adalah terbentuknya putri Islam yang berarti bagi keluarga, bangsa dan agama menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar benarnya.
Bagian Ketiga
Usaha
Pasal 6
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, organisasi mempunyai usaha sebagai berikut:
  1. Menanamkan AI Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bidang aqidah, ibadah, akhlak, rnuamalah sesuai dengan jiwa Muhammadi¬yah sebagai dasar pendidikan dan pedoman berjuang.
  2. Meningkatkan pendidikan bagi anak anak dan kaum remaja maupun anggota Nasyiatul Aisyiyah untuk membentuk kepribadian muslim sehingga menjadi uswatun hasanah bagi kehidupan masyarakat.
  3. Mendidik anggota anggotanya untuk menjadi mubalighat yang baik.
  4. Meningkatkan fungsi dan peran Nasyiatul Aisyiyah sebagal pelopor, pelangsung, dan penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
  5. Mendidik dan membina kader kader pimpinan untuk kepentingan agama, organisasi dan masyarakat ke arah sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
6.       Mendidik anggota anggotanya untuk mengembang¬kan keterampilan dan keaktifannya sebagat seorang putri Islam serta mengamalkannya sesuai dengan tuntunan Islam.
  1. Mengembangkan jiwa wirausaha dan kegiatan pengembangan ekonomi untuk mewujudkan kekuatan ekonomi umat yang tangguh.
  2. Menggerakkan usaha usaha penyuluhan dalam meningkatkan kesadaran akan nilai nilai moral, hak asasi manusla, demokrasi, hukum, dan perdamaian sesuai dengan pesan luhur ajaran Islam.
  3. Meningkatkan kegiatan keilmuan yang berkelan¬jutan untuk mengembangkan tradisi ilmiah di kalangan anggota, umat dan masyarakat.
  4. Mengembangkan usaha usaha pencerahan dan pemberdayaan perempuan sesuai dengan nilai nilai ajaran Islam.
  5. Membina ukhuwah Islamiyah dan meningkatkan dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar.
  6. Mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak yang mengarah pada perdamaian, kebaikan, ketaqwaan dan menuju terwujudnya tata kehidupan rabmatan lil alamin.
  7. Usaha usaha lain yang sesuai dengan tujuan organisasi.
BAB III
KEANGGOTAAN DAN ORGANISASI
Bagian Pertama
Keanggotaan
Pasal 7
  1. Anggota organisasi adalah putri Islam, warga negara Indonesia yang berumur 17 40 tahun, menyetujui dan bersedia mendukung tujuan organisasi.
  2. Anggota mempunyai hak suara, hak memilih, dan hak dipilih.
  3. Ketentuan tentang keanggotaan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi
Pasal 8
  1. Ranting adalah kesatuan anggota dalam suatu tempat atau lingkungan.
  2. Cabang adalah kesatuan Ranting ranting dalam suatu tempat di kecamatan.
  3. Daerah adalah kesatuan Cabang cabang dalam suatu tempat di kota dan atau kabupaten.
  4. Wilayah adalah kesatuan Daerah daerah dalam suatu tempat di tingkat propinsi.
Bagian Ketiga
Pendirian dan Penetapan Organisasi
Pasal 9
  1. Pelaksanaan pendirian organisasi diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
  2. Penetapan Wilayah, Daerah, Cabang dengan ketentuan luas wilayahnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Pimpinan Pusat.
  3. Penetapan Ranting dengan ketentuan luas wilayahnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Pimpinan Wilayah atas pelimpahan wewenang dari Pimpinan Pusat.
  4. Dalam hal hal luar biasa Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
BAB IV
PIMPINAN
Bagian Pertama
Pimpinan Pusat
Pasal 10
  1. Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi yang memimpin organisasi secara keseluruhan.
  2. Pimpinan Pusat terdiri atas sekurang kurangnya 9 (sembilan) orang yang dipilih dan ditetapkan oleh Muktamar untuk satu masa jabatan, dari calon calon yang diusulkan oleh Tanwir dan telah disetujui oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
  3. Ketua Pimpinan Pusat dipilih dan ditetapkan oleh Muktamar dari antara dan atas usul anggota Pimpinan Pusat terpilih dan disetujui oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
  4. Anggota Pimpinan Pusat sekurang kurangnya telah berpengalaman memimpin Nasyiatul Aisyiyah atau Angkatan Muda Muhammadiyah setingkat Daerah selama satu periode.
  5. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Pusat dapat menambah anggotanya, dengan ketentuan:
a. Anggota tambahan disahkan dalam Sidang Pleno Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah. b. Mendapat Persetujuan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
  1. Pimpinan Pusat dengan diwakili oleh Ketua atau salah seorang Wakil Ketua bersama dengan salah seorang Sekretaris, bertindak atas nama organisasi baik di dalam maupun di luar pengadilan
Bagian Kedua
Pimpinan Wilayah
Pasal 11
  1. Pimpinan Wilayah mernimpin organisasi dalam wilayahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan Pusat.
  2. Pimpinan Wilayah terdiri atas sekurang kurangnya 9 (sembilan) orang yang dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah untuk satu masa jabatan, dari calon calon yang diusulkan dalam Musyawarah Wilayah dan telah disetujui oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah setempat, selanjutnya dimintakan ketetapan Pimpinan Pusat.
  3. Ketua Pimpinan Wilayah dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah dari antara dan atas usul anggota Pimpinan Wilayah terpilih.
  4. Anggota Pimpinan Wilayah sekurang kurangnya telah berpengalaman memimpin Nasyiatul Aisyiyah atau Angkatan Muda Muhammadiyah setingkat Cabang selama satu periode.
  5. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Wilayah dapat menarnbah anggotanya, dengan ketentuan:
a. Anggota tambahan disahkan dalam Sidang Pleno Pimpinan Wilayah. b. Mendapat persetujuan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah setempat. c. Dimintakan ketetapan Pimpinan Pusat.
  1. Ketua Pimpinan Wilayah karena jabatannya menjadi wakil Pimpinan Pusat untuk
    wilayahnya
Bagian Ketiga
Pimpinan Daerah
Pasal 12
  1. Pimpinan Daerah memimpin organisasi dalam daerahnya serta melaksanakan kebijakan pimpinan di atasnya.
  2. Pimpinan Daerah terdiri atas sekurang kurangnya 7 (tujuh) orang yang dipIiiih dan ditetapkan oleh Musyawarah Daerah untuk satu masa jabatan, dari calon calon yang diusulkan dalam Musyawarah Daerah dan telah disetujui oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah setempat, selanjutnya dimintakan ketetapan Pimpinan Wilayah.
  3. Ketua Pimpinan Daerah dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Daerah dari antara dan atas usul anggota Pimpinan Daerah terpilih.
  4. Anggota Pimpinan Daerah sekurang kurangnya telah menjadi anggota aktif Nasyiatul Aisyiyah atau Angkatan Muda Muhammadiyah selama satu periode
  5. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Daerah dapat menambah anggotanya, dengan ketentuan :
  • anggota tambahan disahkan dalam Sidang Pleno Pimpinan Daerah;
  • mendapat persetujuan Pimpinan Daerah Muhammadiyah setempat; dandimintakan ketetapan Pimpinan Wilayah.

Bagian Keempat
Pimpinan Cabang
Pasal 13
  1. Pimpinan Cabang memimpin organisasi dalam cabangnya serta melaksanakan kebijakan pimpinan di atasnya.
  2. Pimpinan Cabang terdiri atas sekurang kurangnya 7 (tujuh) orang yang dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Cabang untuk satu masa jabatan, dari calon calon yang diusulkan dalam Musyawarah Cabang dan telah disetujui oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah setempat, selanjutnya dimintakan ketetapan Pimpinan Daerah.
  3. Ketua Pimpinan Cabang dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Cabang dari antara dan atas usul anggota Pimpinan Cabang yang terpilih.
  4. Anggota Pimpinan Cabang sekurang-kurangnya telah menjadi anggota aktif Nasyiatul Aisyiyah atau Angkatan Muda Muhammadiyah selama satu periode.
  5. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Cabang dapat menambah anggotanya, dengan ketentuan:
  • anggota tambahan disahkan dalam Sidang Pleno Pimpinan Cabang;
  • mendapat persetujuan Pimpinan Cabang Muhammadiyah setempat;
  • dimintakan ketetapan Pimpinan Daerah.

Bagian Kelima
Pimpinan Ranting
Pasal 14
  1. Pimpinan Ranting mernimpin organisasi dalam rantingnya serta melaksanakan kebijakan pimpinan di atasnya
  2. Pimpinan Ranting terdiri atas sekurang kurangnya 5 (lima) orang yang dipilih dan ditetapkan Pimpinan Cabang untuk satu masa jabatan, dari calon calon yang diusulkan dalam Musyawarah Ranting dan telah disetujui oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah setempat, selanjutnya dimintakan ketetapan pimpinan Cabang.
  3. Pimpinan Ranting dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Ranting dari antara dan atas usul anggota Pimpinan Ranting yang dipilih.
  4. Anggota Pimpinan Ranting sekurang kurangnya telah menjadi anggota aktif Nasyiatul Aisyiyah atau Angkatan Muda Muhammadiyah selarna satu tahun.
  5. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Ranting dapat menambah anggotanya, dengan ketentuan:
  • Anggota tambahan disahkan dalam Sidang Pleno pimpinan Ranting;
  • mendapat persetujuan Pimpinan Ranting Muhammadiyah setempat;
  • dimintakan ketetapan Pimpinan Cabang.
Bagian Keenam
Pemilihan Pimpinan
Pasal 15
  1. Anggota Pimpinan terdiri atas anggota organisasi yang telah memiliki Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah dan Kartu Tanda Anggota Nasyiah.
  2. Cara pemilihan Pimpinan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.



Bagian Ketujuh
Masa Jabatan
Pasal 16
  1. Ketentuan tentang masa jabatan Pimpinan Nasyiatul Aisyiyah adalah:
a. Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah dan Pim¬pinan Daerah 4 (empat) tahun. b. Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting 2 (dua) tahun.
  1. Ketua Pimpinan Pusat, Ketua Pimpinan Wilayah, Ketua Pimpinan Daerah, Ketua Pimpinan Cabang dan Ketua Pimpinan Ranting masing masing dapat dijabat secara berturut turut oleh seorang yang sama paling lama 2 (dua) kali masa jabatan.
  2. Dalam hal terjadi keadaan luar biasa Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
BAB V
PEMBANTU PIMPINAN
Bagian Pertama
Unsur Pembantu Pimpinan
Pasal 17
Unsur Pembantu Pimpinan terdiri atas Lembaga Khusus, Departemen, dan Badan.

Bagian Kedua
Departemen
Pasal 18
  1. Departemen adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang mempunyai tugas untuk merencanakan dan melaksanakan program organisasi.
  2. Ketentuan tentang Departemen diatur lebih lanjut dalarn Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Ketiga
Lembaga Khusus
Pasal 19
  1. Lembaga Khusus adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap masalah masalah internal organisasi.
  2. Lembaga Khusus dibentuk hanya oleh Pimpinan Pusat.
  3. Apabila dipandang perlu Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Daerah dapat membentuk Lembaga.
  4. Ketentuan tentang Lembaga Khusus diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Keempat
Badan
Pasal 20
  1. Badan adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang mempunyai tugas membantu pelaksanaan program operasional.
  2. Badan berada di bawah koordinasi Departemen.
  3. Badan dibentuk oleh Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Daerah
  4. Ketentuan tentang Badan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.


BAB VI
PERMUSYAWARATAN
Bagian Pertama
Muktamar
Pasal 21
  1. Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi dalam organisasi yang diadakan oleh Pimpinan Pusat.
  2. Peserta Muktamar terdiri atas
a. anggota Pimpinan Pusat., b. wakil Pimpinan Wilayah; c. wakil Pimpinan Daerah; dan d. wakil wakil Daerah yang diambil dari Cabang-cabangnya.
  1. Muktamar diadakan setiap 4 (empat) tahun sekali.
  2. Apabila dipandang perlu oleh Pimpinan Pusat dan atas keputusan Tanwir, dapat diadakan Muktamar Luar Biasa.
  3. Ketentuan tentang Muktamar diatur lebih lanjut dalam Anggaran RumahTangga.

Bagian Kedua
Tanwir
Pasal 22
  1. Tanwir adalah permusyawaratan tertinggi dalam organisasi di bawah Muktamar yang diadakan oleh Pimpinan Pusat.
    • anggota Pimpinan Pusat;
    • wakil Pimpinan Wilayah;
    • wakil Wilayah yang diambil dari Daerah-daerahnya.
  2. Peserta Tanwir terdiri atas :
  3. Tanwir diadakan sekurang kurangnya 3 (tiga) kali dalam satu periode
  4. Ketentuan tentang Tanwir diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Ketiga
Musyawarah Wilayah
Pasal 23
  1. Musyawarah Wilayah adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Wilayah yang diadakan oleh Pimpinan Wilayah.
  2. Peserta Musyawarah Wilayah terdiri atas :
a. anggota Pimpinan Wilayah; b. wakil Pimpinan Daerah; c. wakil Daerah yang diambil dari Cabang-cabangnya.
  1. Musyawarah Wilayah diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
  2. Ketentuan tentang Musyawarah Wflayah diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Musyawarah Kerja Wilayah
Pasal 24
  1. Musyawarah Kerja Wilayah disingkat Muskerwil adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Wilayah di bawah Musyawarah Wilayah yang diadakan oleh Pimpinan Wilayah.
  2. Peserta Muskerwil terdiri atas:
  • anggota Pimpinan Wilayah;
  • wakil Pimpinan Daerah;
  • wakil Daerah yang diambil dari Cabang-cabangnya.
3. Muskerwil diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
4. Ketentuan tentang Muskerwil diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.

Bagian Kelima
Musyawarah Daerah
Pasal 25
  1. Musyawarah Daerah adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Daerah yang diadakan oleh Pimpinan Daerah.
  2. Peserta Musyawarah Daerah terdiri atas :
  • anggota Pimpinan Daerah;
  • wakil Pimpinan Cabang;
  • wakil Cabang yang diambil dari Rantingrantingnya.
3. Musyawarah Daerah diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
4. Ketentuan tentang Musyawarah Daerah diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah
Tangga.
Bagian Keenam
Musyawrah Kerja Daerah
Pasal 26
  1. Musyawarah Kerja Daerah disingkat Muskerda adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Daerah di bawah Musyawarah Daerah yang diadakan oleh Pimpinan Daerah.
  2. Peserta Muskerda terdiri atas :
  • anggota Pimpinan Daerah;
  • wakil Pimpinan Cabang;
  • wakil Cabang yang diambil dari Ranting-rantingnya.
3. Muskerda diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
4. Ketentuan tentang Muskerda diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Ketujuh
Musyawarah Cabang
Pasal 27
  1. Musyawarah Cabang adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Cabang yang diadakan oleh Pimpinan Cabang.
  2. Peserta Musyawarah Cabang terdiri atas:
  • a. anggota Pimpinan Cabang.
  • b. Wakil wakil Pimpinan Ranting.
3. Musyawarah Cabang diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
4. Ketentuan tentang Musyawarah Cabang diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah tangga
Bagian Kedelapan
Musyawarah Kerja Cabang
Pasal 28
  1. Musyawarah Kerja Cabang disingkat Muskercab adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Cabang di bawah Musyawarah Cabang yang diadakan oleh Pimpinan Cabang.
  2. Peserta Muskercab terdiri atas :
  • anggota Pimpinan Cabang.
  • wakil Pimpinan Ranting.
3. Muskercab diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
4. Ketentuan tentang Muskercab diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Kesembilan
Musyawarah Ranting
Pasal 29
  1. Musyawarah Ranting adalah permusyawaratan tertinggi organisasi tingkat Ranting yang diadakan oleh Pimpinan Ranting.
  2. Musyawarah Ranting dihadiri oleh Pimpinan Ran¬ting dan seluruh anggota Ranting.
  3. Musyawarah Ranting diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
Bagian Kesepuluh
Rapat Kerja Pimpinan
Pasal 30
  1. Rapat Kerja pimpinan adalah permusyawaratan organisasi yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelancaran kerja organisasi.
  2. Rapat Kerja Pimpinan diadakan oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang.
  3. Rapat Kerji Pirnpinan diadakan sekurang kurangnya sekali dalam satu periode.
  4. Ketentuan Rapat Kerja Pimpinan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Kesebelas
Keputusan Musyawarah
Pasal 31
  1. Keputusan Musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 29 diambil dengan suara terbanyak mutlak.
  2. Ketentuan Keputusan Musyawarah diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bagian Keduabelas
Ketentuan Permusyawaratan
Pasal 32

Ketentuan tentang permusyawaratan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
 
BAB VII
KEUANGAN
Keuangan organisasi diperoleh dari:
  1. Uang pangkal dan uang iuran.
  2. Sumbangan wajib organisasi.
  3. Shodaqoh dan infaq.
  4. Hasil hasil hak milik dan wakaf.
  5. BUANA (Badan Usaha Amal Nasyiatul Aisyiyah) dan sumber surnber lain yang halal.
BAB VIII
ANGGARAN RUMAH TANGGA
Pasal 34
  1. Hal hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar, diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
  2. Anggaran Rumah Tangga dibuat oleh Pimpinan Pusat dengan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar, dan disahkan oleh Tanwir. Dalam keadaan sangat mendesak Pimpinan Pusat dapat mengadakan perubahan Anggaran Rumah Tangga dan berlaku sampai Tanwir menetapkan lain.
BAB IX
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 35
  1. Anggaran Dasar dapat diubah melalui Muktamar.
  2. Perubahan Anggaran Dasar dinyatakan sah apabila sekurang kurangnya dihadiri 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta Muktamar dan disetujui sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta Muktamar yang hadir.
  3. Rencana Perubahan Anggaran Dasar harus sudah tercantum dalam agenda Muktamar.
BAB X
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal 36
  1. Pembubaran organisasi ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan disahkan oleh Tanwir Muhammadiyah.
  2. Sesudah organisasi dinyatakan bubar segala hak milik organisasi menjadi hak milik Persyarikatan Muhammadiyah.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP
Pasal 37
Peralihan
  1. Dengan berlakunya Anggaran Dasar ini, maka Anggaran Dasar sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
  2. Hal hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan menjadi kebijakan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah.
 Semboyan Nasyiatul Aisyiah yaitu : Al Birru Manittaqo yang artinya kebajikan itu bagi orang yang selalu waspada. Maksud dan tujuan : termaktub pada anggaran Dasar NA pasal 4 berbunyi : terbentuklah pribadi putri Islam yang berguna bagi agama, bangsa dan negara serta menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna gerakan Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar